Senin, 23 Desember 2013

Resin Penukar Ion

PERCOBAAN V
RESIN PENUKAR ION
I.         Tujuan
1.1  Mengetahui dan memahami teknik pemisahan dengan metode penukar ion
1.2  Menentukan kapasitas resin penukar ion

II.      Tinjauan Pustaka
Resin adalah senyawa hidrokarbon terpolimerisasi sampai tingkat yang tinggi yang mengandung ikatan-ikatan hubung silang (cross-linking) serta gugusan yang mengandung ion-ion yang dapat dipertukarkan . Berdasarkan gugus fungsionalnya, resin penukar ion terbagi menjadi dua yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion. Resin penukar kation, mengandung kation yang dapat dipertukarkan. sedang resin penukar anion, mengandung anion yang dapat yang dapat dipertukarkan (Lestari,2007).
Penukar ion adalah pertukaran ion-ion secara reversible antara cairan dan padatan. Pertukaran ion antar fasa yang berlangsung pada permukaan padatan tersebut merupakan proses penyerapan yang menyerupai proses penyerapan. Dalam pengolahan air, penukar ion dapat digunakan dalam pelunakan air, demine-ralisasi atau “recovery” ion-ion metal yang terdapat di dalam air. Bahan penukar ion merupakan suatu struktur organik/anorganik yang berupa gugus-gugus fungsional berpori. Kapasitas penukaran ion ditentukan oleh jumlah gugus fungsional per-satuan massa resin. Penukar ion positif (resin kation) ialah resin yang dapat mempertukarkan ion-ion positif dan penukar ion negatif ialah resin yang dapat mempertukarkan ion-ion negatif. Resin kation mempunyai gugus fungsi asam, seperti sulfonat, sementara resin anion mempunyai gugus fungsi basa, seperti Amina. Resin penukar ion dapat digolongkan atas bentuk gugus fungsi asam kuat, asam lemah, basa kuat, dan basa lemah (Anonim, 2007).
Suatu resin penukar ion yang ingin direaksikan dalam suatu sistem dapat dilakukan dengan memasukkan gugus-gugus dari suatu resin yang terionkan kedalam suatu matriks polimer organik, yang paling lazim di antaranya ialah polisterina hubungan silang yang di atas digunakan sebagai absorben. Produk tersedia dengan berbagai derajat hubungan silang.  Suatu resin umum yang lazim ialah resin “8% terhubung silang” yang berarti kandungan divenilbenzenanya 8 %. Resin-resin itu dihasilkan dalam bentuk manik-manik bulat, biasanya dengan 0,1-0,5 mm, meskipun ukuran–ukuran lain juga tersedia (Svehla, 1985).
Resin pertukaran ion merupakan bahan sintetik yang berasal dari aneka ragam bahan, alamiah maupun sintetik, organik maupun anorganik, memperagakan perilaku pertukaran ion dalam analisis laboratorium di mana keseragaman dipentingkan dengan jalan penukaran dari suatu ion. Pertukaran ion bersifat stokiometri, yakni satu H+ diganti oleh suatu Na+.  Pertukaran ion adalah suatu proses kesetimbangan dan jarang berlangsung lengkap, namun tak peduli sejauh mana proses itu terjadi, stokiometrinya bersifat eksak dalam arti satu muatan positif meninggalkan resin untuk tiap satu muatan yang masuk. Ion dapat ditukar yakni ion yang tidak terikat pada matriks polimer disebut ion lawan (Counterion). Pada umumnya senyawa yang digunakan untuk kerangka dasar resin penukar ion asam kuat dan basa kuat adalah senyawa polimer stiren divinilbenzena. Ikatan kimia pada polimer ini amat kuat sehingga tidak mudah larut dalam keasaman dan sifat basa yang tinggi dan tetap stabil pada suhu diatas 150oC (Underwood, 1989).
Resin dapat digunakan dalam suatu analisis jika resin itu harus cukup terangkai silang, sehingga keterlarutan yang dapat diabaikan, resin itu cukup hidrofilik untuk memungkinkan difusi ion-ion melalui strukturnya dengan laju yang terukur dan berguna. Selain itu, resin juga harus menggunakan cukup banyak gugus penukar ion yang dapat dicapai dan harus stabil kimiawi dan resin yang sedang mengembang, harus lebih besar rapatannya daripada air (Harjadi, 1993).
Prinsip-prinsip dasar dari pertukaran ion telah banyak menetapkan penelitian-penelitian dalam sistem air, serta menghasilkan penetapan-penetapan yang berguna. Namun lingkup dari pertukaran ion telah diperluas selama sekitar dekade terakhir ini, dengan menggunakan baik sistem pelarut organik, maupun sistem pelarut campuran air-organik. Pelarut-pelarut organik yang umum digunakan adalah senyawaan-senyawaan akso dari tipe alkohol, keton dan karboksilat yang umumnya mempunyai tetapan dielektrik dibawah 40 (Svehla, 1985).
Semua penukar ion yang bernilai dalam analisis, memilih beberapa kesamaan sifat: mereka hampir-hampir tak dapat larut dalam air dan pelarut organik, dan mengandung ion-ion katif dan ion-ion lawan yang akan bertukar secara reversibel dengan ion-ion lain dalam larutan yang mengelilinginya tanpa terjadi perubahan-perubahan fisika yang berarti dalam bahan tersebut. Penukaran ion bersifat kompleks dan sesungguhnya adalah polimerik. Polimer ini membawa suatu muatan listrik yang tepat dinetralkan oleh muatan-muatan pada ion-ion lawannya (ion aktif). Ion-ion aktif ini berupa kation-kation dalam penukar kation, dan berupa anion-anion dalam penukar anion (Bassett, 1994).
Larutan yang melalui kolom disebut influent, sedangkan larutan yang keluar kolom disebut effluent. Proses pertukarannya adalah serapan dan proses pengeluaran ion adalah desorpsi atau elusi. Mengembalikan resin yang sudah terpakai ke bentuk semula disebut regenerasi sedangkan proses pengeluaran ion dari kolom dengan reagent yang sesuai disebut elusi dan pereaksinya disebut eluent. Yang disebut dengan kapasitas pertukaran total adalah jumlah gugusan-gugusan yang dapat dipertukarkan di dalam kolom, dinyatakan dalam miliekivalen. Kapasitas penerobosan (break through capacity) didefinisikan sebagai banyaknya ion yang dapat diambil oleh kolom pada kondisi pemisahan; dapat juga dikatakan sebagai banyaknya miliekivalen ion yang dapat ditahan dalam kolom tanpa ada kebocoran yang dapat teramati. Kapasitan penerobosan lebih kecil dari kapasitas total pertukaran kolom dan tidak tergantung terhadap sejumlah  variabel, seperti tipe resin, afinitas penukaran ion, komposisi larutan, ukuran partikel, dan laju aliran (Khopkar, 1990).

III.   Alat dan Bahan
3.1  Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain corong pisah, kolom resin, erlenmeyer 50 ml, neraca analitik, buret 25 ml, pipet tetes, klem dan statif, botol semprot, corong kaca, dan gelas ukur 100 ml.
3.2  Bahan
Bahan yang digunakan dalam perobaan ini antara lain resin penukar kation dan anion, larutan Na2SO4 0,25 M, NaOH 0,1 N, indikator PP, aquades, larutan AgNO3 0,1 M, larutan NaNO3, indikator K2CrO4 dan kapas.





















IV.   Prosedur Kerja
4.1  Resin penukar kation
Menyiapkan kolom resin penukar ion dan menambahkan ke dalam kolom resin tersebut 1 gram resin penukar kation yang telah ditimbang sebelumnya. Selanjutnya menuangkan ke dalam kolong resin tersebut air suling untuk melindungi resin dengan permukaan air tetap 1 cm di atas permukaan resin. Kemudian menambahkan 50 ml Na2SO4 0,25 M melalui corong pisah di atas kolom dengan kecepatan penetapan 2 ml/detik atau ± 1 tetes/2 detik, dan menampung efluen dalam erlenmeyer.
Setelah semua efluen telah tertampung, menitrasi efluen dengan larutan standar NaOH 0,1 M dengan indikator PP sampai terjadi perubahan warna menjadi merah, lalu menghitung kapasitas resin penukar ionnya. 
4.2  Resin penukar anion
Menyiapkan kolom resin penukar ion dan menambahkan ke dalam kolom resin tersebut 1 gram resin penukar anion yang telah ditimbang seelumnya. Selanjutnya menuangkan ke dalam kolom resin tersebut air suling untuk melindungi resin dengan permukaan air tetap 1 cm di atas permukaan resin. Kemudian menambahkan 50 ml NaNO3 melalui corong pisah di atas kolom dengan kecepatan penetapan 2 ml/detik atau ± 1 tetes/2 detik, dan menampung efluen dalam erlenmeyer.
Setelah semua efluen tertampung, menitrasi efluen denganlarutan standar AgNO3 0,1 M dengan larutan indikator K2CrO4, lalu menghitung kapasitas resin penukar ionnya.







V.      Hasil dan Pembahasan
5.1  Hasil Pengamatan
No.
Perlakuan/Jenis Resin
Titran
Volume Titran (mL)
1
Resin penukar kation
NaOH 0,1 M
0,2
2
Resin penukar anion
AgNO30,1 M
0,1

5.2  Analisis Data
Diketahui :  M NaOH (a1)                  = 0,1 M ~ 0,1 N
M AgNO3 (a2)                = 0,1 M ~ 0,1 N
Volume NaOH (V1)       = 0,2 mL
Volume AgNO3 (V2)     = 0,1 mL
Berat resin kation (W1)  = 1 gram
Berat resin anion (W2)    = 1 gram
Ditanya   :  a) Ckation = ...?
b) Canion = ...?
Penyelesaian:
a)      Ckation = C1 
 =  0,02 meq/gram
b)      Canion = C2 
 =  0,01 meq/gram



5.3  Pembahasan
Resin penukar ion adalah suatu bahan padat yang memiliki bagian (ion positif atau ion negatif) tertentu yang bisa dilepas dan ditukar dengan bahan kimia lain dari luar. Terdapat dua jenis resin penukar ion, yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion. Pada resin penukar kation, kation yang terikat pada resin akan digantikan oleh kation pada larutan yang dilewatkan. Begitu pula pada resin penukar anion, anion yang terikat pada resin akan digantikan oleh anion pada larutan yang dilewatkan.
Percobaan ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui teknik pemisahan dengan metode penukar ion dan menentukan kapasitas resin penukar ion kation dan anion berdasarkan prinsip kerjanya, yaitu pertukaran ion yang terikat pada polimer pengisi resinnya dengan ion yang dilewatkan. Pada percobaan ini digunakan masing-masing 1 gram resin penukar kation dan resin penukar anion.
Perlakuan pertama menggunakan resin penukar kation. Sebelum resin penukar kation dimasukkan dalam kolom resin, terlebih dahulu dimasukkan kapas sampai pada ujung kolom. Kapas ini berfungsi untuk menyaring larutan yang akan menuruni kolom sehingga akan diperoleh efluen yang murni. Resin yang dimasukkan dalam kolom resin kemudian dibasahi menggunakan aquades agar lebih mudah bereaksi dengan larutan yang akan ditambahkan, yaitu larutan Na2SO4 0,25 M. Aquades dijaga tetap berada 1 cm di atas resin, karena pada perlakuan ini aquades berfungsi sebagai wadah untuk bereaksinya resin dengan larutan Na2SO4. Penambahan larutan Na2SO4 dilakukan dengan cara meneteskannya sedikit demi sedikit (± 1 tetes/2 detik) menggunakan corong pisah, dengan tujuan agar pertukaran ion H+ dan Na+ berlangsung lebih teratur dan lebih banyak. Hal ini dikarenakan resin yang digunakan mengandung H+ dan juga bahan lainnya, dan ion H+ pada resin yang akan bertukar dengan Na+ membutuhkan waktu untuk lepas dari ikatannya dengan ion lain di dalam resin. Maka penambahan Na2SO4 dilakukan secara lambat, agar Na+ dapat bertukar dengan ion H+ dengan tepat. Pada perlakuan ini, resin penukar kation yang digunakan adalah resin yang mengandung gugus H+ yaitu yang bersifat basa kuat. Ion H+ ini nantinya akan ditukarkan dengan ion Na+ dari Na2SO4, sehingga efluen yang terbentuk adalah efluen H2SO4. Ion H+ dan Na+ dapat bertukar karena adanya perbedaan keelektronegatifan di mana atom H dan Na berada pada golongan yang sama, sebagaimana diketahui dari atas ke bawah sifat keelektronegatifannya semakin kecil. Atom H berada pada periode 1 sedangkan Na berada pada periode 3, jadi H+ lebih elektronegatif daripada Na+, sehingga H+ lebih stabil berikatan dengan SO42- daripada Na+. Selain itu, H juga unsur nonlogam sehingga lebih mudah untuk membentuk kation kovalen. Dengan demikian proses pertukaran kation dapat berlangsung.
Menurut Anonim (2013), penambahan Na2SO4 yang dilakukan melalui corong pisah bertujuan untuk membentuk H2SO4, dan H2SO4 di sini merupakan efluen, kecepatan Na2SO4 dalam corong pisah harus sama dengan kecepatan larutan dalam kolom, yang bertujuan untuk menjaga kestabilan volumenya. Seain itu aquades juga digunakan, untuk menjaga agar resin tidak kering dan untuk mengeluarkan udara dari kpas sehingga resin lebih mudah bereaksi dengan Na2SO4.
Selanjutnya, efluen yang diperoleh dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 M dengan menggunakan indikator fenolftalein (PP). Titran NaOH digunakan untuk mendeteksi danya H2SO4 pada efluen, di mana NaOH akan bereaksi dengan H2SO4 membentuk garam dan air sesuai dengan prinsip kerja titrasinya, yaitu titrasi asam-basa. Indikator yang digunakan adalah indikator PP, karena reaksi antara NaOH dan H2SO4 akan menghasilkan garam basa sehingga diperlukan indikator yang akan menghasilkan perubahan warna pada suasana basa. Dengan trayek pH 8,2-10, indikator PP merupakan indikator yang sesuai untuk perlakuan ini. Titik akhir titrasi tercapai ketika terjadi perubahan warna larutan menjadi merah muda. Titik akhir titrasi adalah titik di mana terjadi perubahan warna pada indikator. Titik akhir titrasi tercapai setelah titik equivalen tercapai. Titik equivalen adalah titik di mana jumlah mol titran sama dengan jumlah mol titrat (Polling, 1986). Setelah titik akhir titrasi tercapai, volume titran NaOH yang diperoleh adalah 0,2 mL, sehingga kapasitas resinnya adalah sebesar 0,02 meq/gram. Kapasitas resin penukar ion berguna untuk memperkirakan banyaknya resin yang dibutuhkan utnuk suatu penetapan atau suatu pemisahan. Hal ini berarti resin penukar kation yang dibutuhkan untuk pemisahan ini adalah sebanyak 0,02 meq per gram resin.
Pada perlakuan titrasi ini, reaksi yang terjadi adalah:
H2SO4 + 2NaOH  ® Na2SO4 + 2H2O
Perlakuan kedua, pemisahan dengan menggunakan resin penukar anion. Resin penukar anion adalah resin yang pada gugus fungsionalnya memiliki ion negatif (anion) yang ditukarkan. Langkah kerja yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada resin penukar kation, namun pada perlakuan ini larutan yang ditambahkan menggunakan corong pisah adalah larutan NaNO3. Efluen yang akan terbentuk adalah NaCl, karena ion NO3- dari larutan NaNO3 akan bertukar dengan gugus Cl dari resin anion pada kolom resin untuk mencapai kestabilan karena perbedaan keelektronegatifannya. Unsur dengan keelektronegatifan tinggi memiliki kemampuan untuk berikatan dengan atom lain yang besar dalam ikatan kimia. Ion Cl- lebih elektronegatif dari NO3- sehingga perbedaan keelektronegatifan antara Cl- dan Na+ lebih besar daripada perbedaan keelektronegatifan antara NO3- dan Na+. Maka Na+ lebih cenderung membentuk ikatan dengan Cl-.
Kemudian, efluen yang diperoleh dititrasi menggunakan larutan AgNO3 0,1 M dengan indikator K2CrO4. Titrasi ini merupakan titrasi argentometri atau titrasi pengendapan, di mana titik akhir titrasi dengan indikator K2CrO4 ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih AgCl. Menurut Underwood (1989), pembentukan suatu endapan dapat digunakan untuk mengindikasi selesainya sebuah titrasi pengendapan. Selain itu menurut G. Svehla (1985), perak merupakan logam putih yang dapat ditempa dan dilihat. Logam perak tidak dapat larut dalam asam klorida melainkan akan membentuk suatu endapan putih perak klorida, sebab perak memiliki kerapatan yang tinggi yaitu 10,5 gram/ml dan dapat melebur pada suhu 960,5oC.
Setelah terbentuk endapan putih, diperoleh volume titran AgNO3 yang digunakan adalah 0,1 mL dengan kapasitas resin sebesar 0,01 meq/gram. Hal ini menunjukkan dalam1 gram resin anion seanyak 0,01 meq anion ditukarkan.
Reaksi yang terjadi pada titrasi ini adalah:
AgNO3 + NaCl ® AgCl¯ + NaNO3





















VI.   Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Resin penukar ion adalah suatu bahan padat yang memiliki bagian (ion positif atau negatif) tertentu yang bisa dilepas dan ditukar dengan bahan kimia dari luar. Resin penukar ion tebagi 2, yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion.
2.      Pada resin penukar kation, kation yang ditukarkan adalah Na+ dari Na2SO4 yang bertukar dengan kation H+ dari resin kaion, menghasilkan H2SO4. Setelah dititrasi dengan NaOH kembali menghasilkan Na2SO4 dan H2O.
3.      Pada resin penukar anion, anion yang ditukarkan adalah NO3- dari NaNO3 yang bertukar dengan anion Cl- dari resin anion, menghasilkan NaCl. Setelah dititrasi dengan AgNO3 kembali menghasilkan NaNO3 dan endapan putih AgCl.
4.      Kapasitas resin penukar ion berguna untuk memperkirakan banyaknya resin yang diperlukan untuk suatu penetapan atau suatu pemisahan.
5.      Kapasitas resin penukar kation dalam percobaan ini adalah 0,02 meq/gram, sedangkan kapasitas resin penukar anion adalah 0,01 meq/gram.








DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Penyisihan kesadahan dengan metode penukar ion. Laboratorium Operasi Teknik Kimia – FT UNTIRTA. Banten.
Anonim. 2013. Resin Penukar Ion. http://brown13zt.blogspot.com. Diakses pada 24 November 2013. Palu.
Bassett, J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Kedokteran EGC. Jakarta.
Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta.
Lestari , D. E . Utomo, S. B. 2007. Karakteristik Kinerja Resin Penukar Ion Pada Sistem Air Bebas Mineral (GCA01) RSG-GAS. Pusat Reaktor Serba Guna-BATAN. Banten.
Polling, C. 1986. Ilmu Kimia. Erlangga. Jakarta.
Svehla. 1985. Analisis Kualitatif Anorganik Makro dan SemiMikro. PT Kalman Media    Pusaka. Jakarta.
Underwood, A.L., dan Day R. A. 1989. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Erlangga. Jakarta.



Kromatografi Kertas

PERCOBAAN IV
PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI CAMPURAN ZAT YANG TIDAK DIKETAHUI (CUPLIKAN) MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KERTAS
I.         Tujuan
Mampu melakukan pemisahan dan identifikasi suatu campuran (cuplikan) dengan menggunakan metode kromatografi kertas.

II.      Tinjauan Pustaka
 Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom, perbedaan kemampuan adsorpsi terhadap zat - zat yang sangat mirip mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut kromatogram (Khopkar, 2008).
Dalam kromatografi, komponen - komponen terdistribusi dalam dua fase yaitu fase gerak dan fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila molekul - molekul campuran serap pada permukaan partikel - partikel atau terserap. Pada kromatografi kertas naik, kertasnya digantungkan dari ujung atas lemari sehingga tercelup di dalam solven di dasar dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas. Pada bentuk turun, kertas dipasang dengan erat dalam sebuah baki solven di bagian atas lemari dan solven bergerak ke bawah oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah bagian muka solven selesai bergerak hampir sepanjang kertas, maka pita diambil, dikeringkan dan diteliti. Dalam suatu hal yang berhasil, solut - solut dari campuran semula akan berpindah tempat sepanjang kertas dengan kecepatan yang berbeda, untuk membentuk sederet noda - noda yang terpisah. Apabila senyawa berwarna, tentu saja noda - nodanya dapat terlihat. Distribusi dapat terjadi antara fase cair yang terserap secara stasioner dan zat alir bergerak yang kontak secara karib dengan fase cair itu. Dalam kromatografi partisi cairan, fase cair yang bergerak mengalir melewati fase cair stasioner yang diserapkan pada suatu pendukung, sedangkan dalam kromatografi lapisan tipis adsorbennya disalutkan pada lempeng kaca atau lembaran plastik (Anonim, 2010).
Teknik kromatografi kertas diperkenalkan oleh Consden, Gordon dan Martin (1994), yang menggunakan kertas saring sebagai penunjang fase diam. Kertas merupakan selulosa murni yang memiliki afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bila air diadsorbsikan pada kertas, maka akan membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan kolom. Lembaran kertas berperan sebagai penyangga dan air bertindak sebagai fase diam yang terserap di antara struktur pori kertas. Cairan fase bergerak yang biasanya berupa campuran dari pelarut organik dan air, akan mengalir membawa noda cuplikan yang didepositkan pada kertas dengan kecepatan yang berbeda. Pemisahan terjadi berdasarkan partisi masing-masing komponen di antara fase diam dan fase bergeraknya. Kromatografi kertas digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuntitatif. Senyawa - senyawa yang dipisahkan kebanyakan bersifat sangat polar, misalnya asam amino, gula - gula, dan pigmen - pigmen alam (Yazid, 2005).
Dalam teknik kromatografi kertas, proses pengeluaran asam mineral dari kertas disebut desalting. Larutan ditempatkan pada kertas dengan menggunakan mikropipet pada jarak 2-3 cm dari salah satu ujung kertas dalam bentuk coretan garis horizontal. Setelah kertas dikeringkan, diletakkan di ruang yang sudah dijenuhkan dengan air atau dengan pelarut yang sesuai. Penjenuhan dapat dilakukan 24 jam sebelum analisis. Descending adalah salah satu teknik di mana cairan dibiarkan bergerak menuruni kertas akibat gravitasi. Pada teknik ascending, pelarut bergerak ke atas dengan gaya kapiler. Nilai Rf harus sama baik pada descending maupun ascending. Sedangkan yang ketiga dikenal sebagai cara radial atau kromatografi kertas sirkuler. Kondisi - kondisi berikut harus diperhatikan untuk memperoleh nilai Rf yang reprodusibel. Temperatur harus dikendalikan dalam variasi tidak boleh lebih dari 0,5oC. Kertas harus didiamkan dahulu paling tidak 24 jam dengan atmosfer pelarutnya, agar mencapai kesetimbangan sebelum pengaliran pelarutnya pada kertas. Dilakukan beberapa pengerjaan yang parallel, Rfnya tidak boleh berbeda lebih dari 0,02 (Khopkar, 2008).
 Prinsip kromatografi kertas adalah adsorbsi dan kepolaran, di mana adsorbsi didasarkan pada panjang komponen dalam campuran yang diadsorbsi pada permukaan fase diam. dan kepolaran komponen berpengaruh karena komponen akan larut dan terbawa oleh pelarut  jika memiliki kepolaran yang sama serta kecepatan migrasi pada fase diam dan fase gerak (Yazid, 2005).
Suatu atomiser umumnya digunakan sebagai reagent penyemprot bila batas permukaan pelarut dan zat terlarut dalam kertas ingin dibuat dapat dilihat. Atomiser yang halus lebih disukai. Gas - gas juga dapat digunakan sebagai penanda bercak, untuk karbohidrat notasi Rg digunakan untuk menggantikan Rf. Setelah penandaan bercak batas permukaan, selanjutnya dapat dilakukan analisis kalorimetri atau spektroskopi reflektansi bila sampel berupa logam. Materi yang terdapat di dalam kertas dapat ditentukan secara langsung dengan pelarutan. Kromatografi kertas selain untuk pemisahan dan analisis kuantitatif, juga sangat bermanfaat untuk identifikasi. Hal ini dapat dilakukan misalkan dengan membuat grafik antara Rm α terhadap jumlah kation dalam suatu deret homolog (Khopkar, 2008).
 Susunan serat kertas membentuk medium berpori yang bertindak sebagai tempat untuk mengalirnya fase gerak. Berbagai macam kertas yang secara komersial tersedia adalah whatman 1, 2, 31 dan 3 MM, kertas asam asetil, kertas kieselgurh, kertas silikon dan kertas penukar ion juga digunakan. Tersedia juga kertas selulosa murni, kertas selulosa yang dimodifikasi dan kertas serat kaca. Zat - zat hidrofobik dapat dipisahkan pada kedua jenis kertas terakhir ini. Kertas asam asetil atau kertas silikon dapat digunakan untuk zat - zat hidrofobik, sedangkan untuk reagent yang korosif, kertas serat kaca dapat digunakan. Untuk memilih kertas, yang menjadi pertimbangan adalah tingkat dan kesempurnaan pemisahan, difusivitas pembentukan spot, efek tailing dan pembentukan komet serta laju pergerakan pelarut terutama untuk teknik descending (Khopkar, 2008).
III.   Alat dan Bahan
3.1     Alat
 Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah pensil, mistar, chambers, pipa kapiler, klip kertas dan gunting.
3.2     Bahan
 Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kertas saring whatman, lidi, larutan perak nitrat (AgNO­­3 2 M) larutan timbal nitrat (Pb(NO3)2 2 M), larutan raksa nitrat (Hg(NO3)2 2 M), larutan K2CrO4 encer, larutan pengembang dan larutan campuran.

IV.   Prosedur Kerja
Memotong kertas saring Whatman dengan panjang 25 cm dan lebar 3 cm lalu membuat garis mendatar awal pada kertas saring whatman 1 cm dari ujung bawah garis kertas. Kemudian menotolkan ketiga larutan standar logam nitrat dan 1 campurannya pada kertas saring yang berbeda sebanyak 3 tetes dan setiap penetesan dibiarkan mengering sebelum penotolan berikutnya. Lalu membentuk kertas menjadi silinder dengan lidi dan menjepit dengan klip kertas. Setelah itu memasukkan kertas ke dalam chamber berisi larutan pengembang dari campuran air, n-butanol dan etil asetoasetat  dan kertas tidak menyentuh dinding bejana dan spot larutan. Kemudian menutup kembali chamber tersebut. Membiarkan kertas di dalam chamber selama 1 jam lalu memindahkan kertas kromatografi dan mengeringkannya. Setelah itu menyemprot lembaran kertas dengan larutan K2CrO4 encer.








V.      Hasil dan Pembahasan
5.1  Hasil Pengamatan
Tabel Hasil Pengamatan terhadap Pemisahan Ion Logam Ag(I), Hg(II), dan Pb(II) dalam campuran
No.
Langkah
Hasil
1
Menyiapkan kertas saring Whatman, dibagi menjadi 6 kolom
·    Komponen Ag (AgNO3):
Noda berwarna coklat
·    Komponen Hg (Hg(NO3)2):
Noda berwarna jingga
·    Komponen Pb (Pb(NO3)2):
Noda berwarna kuning
2
Menotolkan AgNO3, Pb(NO3)2, dan Hg(NO3)2
3
Menyiapkan ruang pengembang dari campuran air, n-butanol dan etil asetoasetat
4
Memasukkan kertas ke dalam chamber dan kertas tidak menyentuh dinding bejana dan spot larutan
5
Menyemprot lembaran dengan larutan K2CrO4











5.2  Pembahasan
 Kromatografi kertas merupakan analisis kromatografi dengan kertas sebagai penyerap selektif dapat sebagai sobekan kertas yang bergantung dalam larutan contoh atau sebagai lingkaran yang pada pusatnya ditempatkan larutan yang akan dianalisis.
  Pada percobaan ini, diidentifikasi ion logam Pb, Ag dan Hg dari campurannya menggunakan metode kromatografi kertas. Kromatografi kertas terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap penotolan, pengembangan dan identifikasi. Di mana fase diamnya adalah air yang terikat pada kertas (selulosa) dan fase geraknya adalah larutan pengembang dari campuran air, n-butanol dan etil asetoasetat pada perbandingan 15:75:10 serta asam asetat glasial secukupnya sampai rentang pH 3,5 sampai 5. Rentang pH tersebut dimaksudkan jika larutannya terlalu asam dikhawatirkan ion hidroksidanya akan mengendap yang akan mempengaruhi perambatan noda.
Pada tahap penotolan, kertas saring yang digunakan adalah kertas saring whatman karena mempunyai pori - pori yang besar sehingga noda dapat merembes dengan cepat dan teratur. Garis awal pada kertas dengan menggunakan pensil karena pensil terbuat dari grafit yang tidak larut dalam eluen sedangkan jika tinta pulpen maka tinta pulpen akan larut yang dapat mengganggu penampakan noda. Penotolan sampel larutan standar logam nitrat (AgNO3, Pb(NO3)2 dan Hg(NO3)2) diusahakan tidak terlalu banyak karena akan mempengaruhi besar spot. Spot yang terlalu besar tidak baik untuk penampakan noda karena nodanya dapat melebar kesamping atau ke bawah.
Pada tahap pengembangan, kertas yang berisi totolan dimasukkan ke dalam larutan pengembang. Totolan cuplikan diusahakan tidak terendam dalam eluen karena akan melarut dalam pelarut dan menjadi rusak sehingga tidak dapat diidentifikasi lagi. Kertas tidak boleh menyentuh dinding wadah karena dapat mempengaruhi perambatan noda.
Selanjutnya wadah ditutup dengan tujuan untuk menjenuhkan udara di dalamnya menggunakan uap pelarut karena dengan penjenuhan tersebut dapat menghentikan penguapan pelarut. Komponen cuplikan akan terbawa oleh rembesan cuplikan dan kertas dikeluarkan dari wadah setelah pelarut hampir mencapai puncak lembaran kertas.
Untuk memperjelas penampakan noda, kertas tersebut disemprot dengan K2CrO4. Larutan kalium kromat dapat memperjelas penampakkan noda karena krom memiliki beberapa bilangan oksidasi yang beragam dengan warna yang beragam pula. Reaksi yang terjadi yaitu :
2 Ag+ + K2CrO4    ®  Ag2CrO4 + 2 K+
Pb2+  + K2CrO4    ®  PbCrO4  + 2 K+
Hg2+ + K2CrO4    ®  HgCrO4  + 2 K+
Setelah disemprotkan dengan K2CrO4, diperoleh warna dari Ag yaitu coklat, Hg jingga dan Pb berwarna kuning. Untuk komponen campuran, noda yang terbentuk ada 3 yaitu jingga, kuning dan coklat.
Dari warna yang terbentuk dapat dilihat bahwa komponen dari noda campuran adalah Ag, Pb dan Hg karena memiliki warna yang sama dengan warna Ag, Pb dan Hg pada komponen standar.















VI.   Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Kromatografi kertas merupakan jenis kromatografi cair-cair, di mana fase diamnya adalah lapisan tipis air yang terserap oleh kertas.
2.      Kromatografi kertas terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap penotolan, pengembangan dan identifikasi.
3.      Pada percobaan ini, fase diamnya adalah air yang terikat pada kertas (selulosa) dan fase geraknya adalah larutan pengembang dari campuran air, n-butanol dan etil asetoasetat serta asam asetat glasial.
4.      Identifikasi logam Ag, Pb dan Hg dilakukan dengan melihat warna noda pada kertas, di mana warna dari Ag yaitu coklat, Pb kuning dan Hg berwarna jingga.












DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kromatografi Kertas. http://autumninday.com. Diakses pada 27 Mei 2012. Palu.
Khopkar, SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta.
Yazid, Estien. 2005. Kimia Fisik untuk Paramedis. ANDI. Yogyakarta.